Tuesday, September 24, 2019
Monday, September 23, 2019
KETIKA BABI MENJADI HALAL

Merasa bahwa usahanya akan terancam, maka pengusaha sukses ini kemudian menghubungi seorang teman untuk dapat membantunya,
"Bang, tolong carikan dalil bahwa babi itu halal!"
"Bagaimana mungkin Bos?"
"Pasti bisa lah Bang. Tolong diatur gimana caranya. Saya ini kan cuma pakai tulang babi untuk membuat kaldu, sudah itu saja!"
"Baiklah, Bos. Saya akan usahakan."
Dalam hitungan hari, dalil pesanan sang pengusaha akhirnya berhasil diterbitkan dan diumumkan langsung oleh temannya itu sendiri agar masyarakat lebih yakin akan kebenarannya.
"Saudara-saudara sekalian, mari tahan emosi kita semua. Sebenarnya apa yang dilakukan pengusaha ini sudah benar. Dalilnya adalah Surat Al-Baqarah ayat 173, yang menyebut haramnya daging babi. Jadi jelas sekali bahwa yang haram itu dagingnya saja. Berarti tulangnya tidak haram. Nah pengusaha ini menggunakan tulang untuk membuat kaldu, tidak pakai dagingnya! Berarti menurut Surat Al-Baqarah ayat 173 kaldu tersebut halal!"
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ
"Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang ketika disembelih disebut nama selain Allah."
Alhamdulillah cerita di atas hanya fiktif saja, tokoh-tokoh dalam kisah tersebut rekayasa belaka. Meski demikian, ada pelajaran yang dapat kita petik.
Bahwa betapa banyaknya ayat-ayat suci yang dipelintir oleh oknum-oknum yang berniat tidak baik, demi kepentingan golongan mereka sendiri. Na'uzubillah.
Kisah di atas memang fiktif, tetapi beberapa peristiwa yang terjadi di sekitar ini adalah nyata. Misalnya sekelompok orang yang mengatakan hubungan sejenis (LGBT) adalah halal dan mereka membawa dalil dari ayat Al-Quran.
Bahkan tanpa malu-malu ada pula yang mengemukakan bahwa hubungan tanpa ikatan suami-istri bukan perbuatan haram. Itupun dengan membawa dalil berupa ayat suci.
Boleh jadi suatu hari nanti ada dalil yang menghalalkan minuman keras selama tidak mengganggu. Atau bolehnya hadir dan turut andil dalam ritual ibadah agama lain yang dilakukan di rumah ibadah mereka.
Saya teringat suatu hari saat mengaji di hadapan guru kami, beliau bercerita tentang perusahaan-perusahaan liar yang merusak lingkungan dan mengeruk sumber daya alam untuk keuntungan pribadi.
Lantas perusahaan tersebut meminta tolong agar guru kami bisa mencarikan dalil sebagai pembenaran tindakan mereka. Pastinya dengan imbalan materi. Tentu beliau menolak.
Tetapi dari situ beliau mengingatkan kami, bahwa dalil bisa saja dibuat-buat. Ayat suci mungkin saja diputar-putar tafsirannya agar menjadi pembenaran sesuai dengan yang diminta pemesan. Untuk itulah beliau menitipkan nasihat, agar mengambil ilmu itu hendaklah kepada ulama yang benar-benar takut kepada Allah.
Semoga Allah melindungi kita dan keluarga semua serta kaum muslimin negeri ini, dari orang-orang yang menjadikan kalam-kalam suci sebagai permainan demi pembelaan golongannya sendiri.
Salam Hijrah.
Ustd. Arafat
Baca Juga Artikel :
Tetaplah Berada Di Dalam Kapal
Kegelapan Yang Datang Kepadamu
Kasih Sayang Abadi
Friday, September 20, 2019
THE POWER OF NIAT (2)
Cerita pun
berlanjut, sang murid kemudian mengemas barangnya dan berangkatlah ia ke negeri
India. Namun alangkah terkejutnya ketika ia sampai di kota yang dituju,
ternyata sahabat baik ayahnya telah meninggal dunia.
Mengertilah ia mengapa gurunya sangat mementingkan untuk berniat hanya menggantungkan harapan kepada Allah. Karena manusia bisa saja lemah, bisa pula sakit, bahkan bisa wafat seperti yang ia temukan. Tetapi Allah Maha Hidup lagi Maha Penyayang.
Seandainya ia berharap kepada orang yang dikenal dermawan tersebut, tentu ia akan kecewa. Namun bukankah sejak melangkahkan kaki pertama kali dari negerinya, ia hanya berharap kepada Yang Maha Dermawan. Maka sang murid tak merasa kecewa.
Singkat cerita, keberadaannya dikenali orang-orang di sana sebagai pelancong dari negeri Yaman. Mereka pun ramai berkenalan dengannya, terlebih lagi setelah mengetahui bahwa ia adalah murid dari Al-Imam Hasan bin Segaf.
Ternyata kesalehan gurunya ternama hingga ke India. Dalam waktu singkat, mereka menjamu sang murid dengan baik, memintanya menyampaikan nasihat, dan memberi begitu banyak hadiah untuknya.
Setelah beberapa waktu di India akhirnya ia berpamitan untuk kembali ke tanah airnya. Orang pertama yang ia datangi adalah gurunya sendiri. Dan kalimat pertama yang didengarnya adalah,
"Jika engkau bergantung kepada Allah, meskipun orang yang kau tuju tidak dapat menunaikan keinginanmu, maka Allah akan memberi gantinya dari berbagai penjuru yang tidak kau duga."
Benar sekali ucapan gurunya tersebut. Bukan hanya itu, apa yang ia peroleh dari negeri India ternyata dua kali lipat lebih banyak dari apa yang ia butuhkan. Alangkah hebatnya kekuatan niat.
Maka sesiapa yang masih mengharap kepada manusia, janganlah heran jika terkadang hanya berakhir kecewa. Tetapi sesiapa yang mengharap kepada Allah, maka Allah tidak pernah mengecewakan hamba-Nya.
Salam Hijrah.
Baca Juga Artikel :
The Power of Niat
Yang Maha Bijaksana
Bakti Kepada Ayah dan Ibu
Thursday, September 19, 2019
THE POWER OF NIAT
Suatu hari seorang murid mengadukan kepada gurunya tentang kesulitannya dalam mencari penghidupan di negerinya. Maka ia berniat untuk berikhtiar ke negeri seberang,
"Guru, saya minta ijin mau pergi ke India. Di sana ada sahabat ayah saya yang sangat baik dan berkecukupan. Barangkali ia akan bantu saya memberi pekerjaan."
"Tidak, saya tidak mengijinkan."
Murid tersebut terkejut juga karena gurunya melarang. Tetapi demi ketaatan pada sang guru, akhirnya ia tetap tinggal. Hingga beberapa lama berselang, ia masih kesulitan dalam hal rezeki maka menghadaplah kembali kepada gurunya,
"Guru, di sini tak ada harapan buat saya. Ijinkan saya pergi ke India, sebab ada satu orang dermawan yang kenal akrab dengan ayah saya, dan ia pasti akan memberi pertolongan."
"Tidak, saya tidak mengijinkan."
Lagi-lagi gurunya tidak setuju dengan gagasannya. Maka dibatalkanlah kembali rencananya sambil bertanya-tanya dalam hati apakah ada yang salah dengan dirinya hingga gurunya tak kunjung mengijinkan?
Saat introspeksi diri itulah maka sadarlah ia akan kesalahannya. Rupanya kekeliruan tersebut ada pada faktor niatnya. Ia pun bertaubat, kemudian kembali kepada gurunya.
"Guru, aku minta ijin ke India. Untuk mencari rezeki Allah. Barangkali saja Allah berikan aku rezeki saat di India kelak."
"Nah, sekarang aku ijinkan! Kemarin engkau berniat untuk bergantung pada manusia, maka aku melarang. Tetapi sekarang engkau berniat untuk bergantung kepada Allah, maka aku mengijinkan."
Kisah ini terjadi di Yaman, dan guru dalam cerita di atas adalah Al-Imam Hasan bin Segaf As-Segaf, seorang ulama terkemuka pada kisaran tahun 1200-an Hijriah.
Betapa seringnya kita meletakkan niat yang kurang tepat pada apa yang akan kita perbuat. Oleh karena itu, mari kita perbaiki.
Saat keluar dari rumah untuk berangkat kantor, janganlah berniat agar kantor memberi bayaran. Melainkan niatlah untuk mencari rezeki Allah, yang barangkali Allah titipkan melalui kantor tersebut.
Atau mungkin ketika berjualan barang dagangan, tidaklah tepat jika berniat untuk mengejar keuntungan dari para konsumen. Melainkan berniatlah untuk mencari rezeki Allah, yang mungkin saja Allah siapkan kepada para konsumen tersebut.
Atau ketika kita sakit, kemudian menujulah kita ke dokter. Kurang pas rasanya jika berniat agar dokter menyembuhkan kita. Melainkan berniatlah untuk mencari kesembuhan dari Allah, yang barangkali dengan wasilah sang dokter tersebut.
Perhatikanlah bedanya, mana yang niatnya semata-mata bergantung kepada mahluk. Dan mana pula yang niatnya bergantung kepada Allah.
Salam Hijrah.
Baca Juga Artikel :
Raja Tanpa Tanda Jasa
Kegelapan Yang Datang Kepadamu
Teruslah Membatik Wahai Saudaraku
Subscribe to:
Posts (Atom)