
"Ustadz, mohon pandangannya. Adik saya melamar suatu jabatan pekerjaan di sebuah kantor. Setelah mengikuti tes dan wawancara, ia diharuskan membayar sejumlah uang oleh oknum di sana agar bisa bekerja. Apakah ini termasuk suap?“
Demikianlah pertanyaan dari seorang sahabat. Rasa-rasanya sebelum ini juga
sudah lebih dari dua kali saya ditanya sejenis i
ni oleh teman-teman yang lain. Jawaban saya selalu seperti berikut.
Jika kita sebenarnya lulus dalam berbagai tes, berarti memang kita berhak atas
jabatan tersebut. Hanya saja oknum di sana tetap memaksa kita membayar sejumlah
uang.
Maka uang tersebut tidak termasuk suap. Tidak berdosa jika kita terpaksa
serahkan uang itu, dan statusnya kita termasuk orang teraniaya oleh oknum-oknum
yang zalim tersebut.
Tetapi jika kita tidak lulus dalam berbagai tes, berarti sebenarnya ada orang
lain yang berhak atas jabatan tersebut (yaitu dia yang lulus tes). Hanya saja
oknum di sana meminta sejumlah uang agar kita diluluskan, dan dia yang seharusnya
berhak atas jabatan itu disisihkan.
Maka uang tersebut termasuk suap. Haram hukumnya memberi maupun menerima suap,
karena dalam kasus ini kedua belah pihak telah bersepakat merampas hak
saudaranya yang seharusnya lulus menjadi gagal.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَتَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم
بِالْبَاطِلِ
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil.”
Surat An-Nisa ayat 29 di atas memberi peringatan agar jangan mencuri apa yang sebenarnya
menjadi hak orang lain, baik dengan jalan suap menyuap maupun kecurangan. Tak
hanya dalam hal harta, termasuk pula dalam hal jabatan.
Bayangkan jika jabatan itu dipegang selama lima tahun, berarti selama itu pula
ia melewati hari demi harinya dalam bayang-bayang saudaranya yang teraniaya
oleh kezalimannya. Dengan kata lain, setiap hari ia jalani dalam kemurkaan
Allah.
Dan tentu saja murka Allah ini tak hanya menimpa kepada orang yang telah
merampas hak orang lain tersebut, melainkan juga kepada siapapun yang terlibat
membantu dia mewujudkan kezalimannya.
Untuk itulah para ulama fiqih mengingatkan bahwa,
الْأَيْدِي الْمُتَرَتِّبَةُ عَلَى يَدِ الْغَاصِبِ كُلِّهَا أَيْدِيْ ضَمَانٍ
“Tangan-tangan yang muncul di atas tangan perampas semuanya adalah tangan
tanggungan.”
Artinya, tangan-tangan yang ikut berperan dalam membantu seseorang merampas hak
orang lain, maka semua tangan itu ikut menanggung dosa.
Demikianlah penjelasan dari pertanyaan di atas. Kesimpulannya, diharamkan suap
menyuap sama seperti haramnya kecurangan, yaitu karena ada orang lain yang
teraniaya dan dirampas haknya.
Salam Hijrah.
No comments:
Post a Comment