Belum
lama, seorang lelaki bertamu ke rumah. Ia mengenal saya karena sering mendapati
saya berceramah pada sebuah masjid yang dekat dengan kediamannya. Lelaki itu
kemudian mulai bercerita.
Bahwa kurang dari 24 jam lagi, ia dan keluarga harus angkat kaki dari kediaman
mereka. Mengapa demikian? Karena mereka tercekik utang yang berbunga. Awalnya
semua berjalan dengan lancar. Namun lambat laun keadaan mulai berubah.
Pasangan suami istri itu sudah berusaha sekuat tenaga untuk mencicil, namun
tetap saja utang dan bunga sesungguhnya laksana api yang semakin membesar dan
semakin tak terkendali.
Yang tidak saya mengerti adalah alasan mereka saat mengajukan utang tersebut.
Menurut pengakuannya, utang itu digunakan untuk kebutuhan konsumtif seperti
rekreasi dan membeli kosmetik. Sebagian lagi juga diperuntukkan memperbaiki
infrastruktur rumah mereka.
Betapa pilu saya menyimaknya. Bukan apa-apa, kejadian seperti ini sering saya
dengar. Sebelumnya juga ada seorang sahabat meminta pendapat bahwa rumahnya
butuh perbaikan di sana-sini. Apa pendapat saya jika ia hendak mengajukan utang
untuk hal tersebut?

"Membangun infrastruktur rumahmu dengan utang, itu sama saja mengusir
tikus dari dalam rumah dengan cara memasukkan ular!" Demikian jawaban
saya.
Tak pelak kepada lelaki yang sedang duduk di ruang tamu saat itu juga saya
katakan pendapat yang sama, "Mungkin masalah kita kelihatannya selesai.
Tetapi kenyataannya, masalah lain yang lebih besar sudah menanti kita."
Ia
mengangguk setuju. Sekaligus menyesal. Faktanya, akibat utang tersebut kini ia
terusir dari tempat tinggalnya sendiri. Bukankah dahulu Rasulullah telah
bersabda,
لا تُخِيفوا
أنفُسَكم بعْدَ
أَمْنِها. قالوا
وما ذاكَ
يا رسولَ
اللهِ؟ قال
الدَّيْنُ
“Jangan kalian mengundang rasa takut diri
kalian sendiri padahal sebelumnya kalian dalam keadaan aman.”
Para sahabat bertanya, “Apakah itu wahai Rasulullah?”
Rasulullah menjawab, “Itulah utang!”
(Hadist
Riwayat Ahmad)
Mungkin saja hadist tersebut bertentangan dengan pendapat para ekonom, atau
pendapat para politisi. Tetapi yang pasti, hadist Rasulullah tak akan
bertentangan dengan kita umatnya.
Oleh karena itu, mari bersikap bijaksana terhadap utang. Apalagi berutang untuk
keperluan yang tidak mendesak. Atau sekedar untuk terlihat sukses dan berhasil
di mata orang lain.
Semoga Allah karuniakan kita jiwa pejuang, yang senantiasa berani menempuh
pahit manisnya berjuang jika menghadapi masalah. Alih-alih jiwa pengutang, yang
sedikit-sedikit berutang seolah-olah tak ada solusi lain.
Semoga Allah juga karuniakan negeri ini pada pemilu mendatang, wakil-wakil
rakyat dan pemimpin-pemimpin yang berjiwa juang, bukan berjiwa utang.
Meminjam istilah Rasulullah, tanah air ini sebelumnya dalam keadaan aman.
Jangan sampai jadi mengundang rasa takut karena utang.
Salam Hijrah..
Baca Juga :
No comments:
Post a Comment