Guru saya, As-Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Hamid, menjelaskan
bahwa kalau kita di tengah-tengah shalat mendadak lupa sudah berapa rakaat,
maka hendaknya mengingat-ingat sendiri yang paling kita yakini.
Kalau kita yakin baru tiga rakaat, maka jumlah tersebut yang diambil. Begitupun jika yang kita yakin empat rakaat, maka itulah yang menjadi patokan kita.
Seandainya ada orang lain duduk di sebelah kita, dia sedang
tidak shalat, lalu memberi tahu bahwa shalat kita sudah sekian rakaat! Tetap
saja dilarang kita mendengarkan informasi dari orang ini. Kita tetap harus
berpegang teguh pada ingatan sendiri.
Demikianlah karena dalam ilmu Fiqih, orang yang sedang shalat
tidak dibenarkan mendengar perkataan orang yang tidak shalat.
Sebenarnya saya hanya ingin mengatakan, bahwa dalam agama
juga diatur beberapa keadaan khusus ketika kita tidak perlu mendengarkan orang
lain.
Jika seperti ini, maka tidaklah berlebihan kalau dalam
kehidupan sehari-hari kita juga tidak diharuskan mendengarkan semua penilaian
orang. Terutama saat orang lain menilai kita dengan kacamata mereka sendiri.
Jika seseorang mengatakan bahwa saya tidak berbakat menjadi
penulis dan menyarankan lebih baik mencari bidang lain saja, tentu omongan ini
lebih baik diabaikan. Saya akan tetap menulis buku karena memang saya bahagia
melakukannya.
Atau ketika seseorang mengatakan selera berpakaian saya
murahan dan menyarankan agar saya membeli merk-merk terkenal di dunia fashion,
inipun termasuk pendapat yang tak wajib saya ikuti.
Karena saya merasa percaya diri dengan apa yang saya kenakan,
dan saya tak akan membiarkan orang lain
mengatur isi lemari baju saya seperti yang mereka mau.
Sejak kita mulai mengikuti penilaian orang lain, sejak itu
pulalah kita telah menggantungkan kebahagiaan pribadi kita kepada orang lain.
Oleh karena itu, percaya saja pada diri sendiri.
Seperti halnya orang yang sedang shalat, tidak semua
perkataan orang lain boleh ia dengarkan.
Salam Bertumbuh.
No comments:
Post a Comment